Minggu, 18 Oktober 2009

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

1. Pengantar

Usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar telah banyak
dilakukan tetapi hasilnya belum begitu menggembirakan. Berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa paling sedikit ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
a. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi
pada keluaran atau hasil pendidikan terlalu memusatkan pada masukan dan kurang memperhatikan proses pendidikan.
b. Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan
mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
c. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan
pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan orientasi kembali tentang penyelenggaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

2. Faktor Pendorong Perlunya Desentralisasi Pendidikan
Saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan1.
Beberapa perubahan tersebut antara lain:
a. Dari orientasi manajemen yang diatur oleh negara ke orientasi pasar. Aspirasi
masyarakat menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan yang timbul.
b. Dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi.
Pendekatan kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis.
c. Dari sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.
d. Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi
negara yang sudah tidak jelas lagi batasnya akibat pengaruh dari tata-aturan global. Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan nasional saja dan kurang menguntungkan dalam percaturan global.

Fenomena ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Di samping itu membawa dampak ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi2 terinci sbb:

• Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan
perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas
pendidikan.
• Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja
dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
• Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan
sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
• Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari
masyarakat.
• Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
Desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu:
a) Manajemen berbasis lokasi
b) Pendelegasian wewenang
c) Inovasi kurikulum

Tujuan utama Manjemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan.
Dengan adanya MBS sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Mereka dapat mengembangkan suatu visi pendidikan yang sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi tersebut secara mandiri.

MBS merupakan salah satu komponen sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran seperti yang terlihat dalam diagram di bawah ini. Komponen yang lain
adalah Peran Serta Masyarakat dan peningkatan mutu kegiatan belajar dan mengajar melalui PAKEM di SD/MI dan Pembelajaran Kontekstual di SLTP/MTs.

Pada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekuensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum
disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Hal ini sesuai dengan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah”.
Peraturan Keputusan Menteri Nomor 22/2006, dan 23/2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan menjadi dasar pengembangan kurikulum sekolah yang disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dalam pengembangan kurikulum, daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat kaitannya dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum, dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan Zimbabwe.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional. Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.

3. Konsep Dasar MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

4. Karakteristik MBS
Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah,
maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan
tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Ciriciri
MBS bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan
kinerja organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya manusia
(SDM), proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

Ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS
a) Organisasi Sekolah
• Menyediakan manajemen/ organisasi/ kepemimpinan transformasional
* dalam mencapai tujuan sekolah

• Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya sendiri
• Mengelola kegiatan operasional sekolah
• Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat
• Menggerakkan partisipasi masyarakat
• Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
b) Proses Belajar mengajar
• Meningkatkan kualitas belajar siswa
• Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat
• Menyelenggarakan pembelajaran yang efektif
• Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa
• Berperanserta dalam memotivasi siswa
c) Sumber Daya Manusia
• Memberdayakan staf dan menempatkan personel yang dapat melayani keperluan siswa
• Memiliki staf dengan wawasan MBS
• Menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada semua staf
• Menjamin kesejahteraan staf dan siswa
• Menyelenggarakan forum /diskusi untuk membahas kemajuan kinerja sekolah
d) Sumber Daya dan Administrasi
• Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tsb,
sesuai dengan kebutuhan.
• Mengelola dana sekolah secara efektif dan efisien
• Menyediakan dukungan administratif
• Mengelola dan memelihara gedung dan sarana.

*Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempunyai tiga komponen
yang harus dimilikinya, yaitu:
• Memiliki karisma yang didalamnya termuat perasaan cinta antara Kepala Sekolah (KS) dan staf secara timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya dalam bekerja.
• Memiliki kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya.
• Memiliki kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual kepada staf. KS mampu mempengaruhi staf untuk berfikir dan mengembangkan atau mencari berbagai alternatif baru5. Secara ringkas perubahan pola manajemen pendidikan lama (konvensional) ke pola baru (MBS) dapat digambarkan sebagai berikut:

Pergeseran Pola Manajemen

Pola Lama Berubah ke Pola MBS
Sentralistik Desentralisasi
Subordinasi Otonomi
Pengambilan keputusan terpusat Pengambilan keputusan partisipatif
Pendekatan birokratik Pendekatan profesional
Pengorganisasian yang hirarkis Pengorganisasian yang setara
Mengarahkan Memfasilitasi
Dikontrol dan diatur Motivasi diri dan saling mempengaruhi
Infromasi ada pada yang berwenang Informasi terbagi
Menghindari risiko Mengelola risiko
Menggunakan dana sesuai Menggunakan dana sesuai kebutuhan
anggaran sampai habis dan seefisien mungkin

MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi namun masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. MBS harus mengakibatkan peningkatan proses belajar mengajar sehingga hasil belajarpun meningkat. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab, kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih serta dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh pemangku kepentingan.

Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut:
• Menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut.
• Mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan masukan pendidikan yang akan dikembangkan.
• Mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya.
• Bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah.
• Persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.
• Meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, dunia usaha dan dunia industri (DUDI) untuk mendukung kinerja sekolah.
• Menyusun dan melaksanakan program sekolah yang mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (pelaksanaan kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
• Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil, dan fasilitas).
• Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
• Menjamin terpeliharanya fasilitas dan sumber daya yang ada di sekolah dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
• Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
• Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.
• Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat, dll).
• Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

1. Miftah Thoha. “Desentralisasi Pendidikan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

2. NCREL, 1995, Decentralization: Why, How, and Toward What Ends? NCREL’s Policy Briefs, report 1, 1993 dalam Nuril Huda “Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

3. Gaynor, Cathy (1998) Decentralization of Education: Teacher management. Washington, DC, World Bank dalam Nuril Huda “Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

4. Donoseputro, M (1997) Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Upaya Pencapaian Tujuan Pendidikan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Alat Pemersatu Bangsa, Suara Guru 4: 3-6.

5. dari Focus on School: The Future Organization of Education Service for Student, Department of Education, Queensland, Australia*)

6. Burns, J.M (1978) Leadership Harper & Row, New York dalam Rumtini (1977) Transformational and Transactional Leadership Performance of Principals of Junior Secondary School in Indonesia, unpublished thesis.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Manajemen Pendidikan, Problematika dan Tantangannya

Pendahuluan

Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM (Sumber Daya
Manusia) masyarakat bangsa tersebut. Kualitas SDM tergantung pada tingkat
pendidikan masing-masing individu pembentuk bangsa. Pendidikan yang visioner,
memiliki misi yang jelas akan menghasilkan keluaran yang berkualitas. Dari sanalah
pentingnya manajemen dalam pendidikan diterapkan.
Manajemen pendidikan untuk saat ini merupakan hal yang harus diprioritaskan
untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan keluaran yang diinginkan.
Kenyataan yang ada, sekarang ini banyak institusi pendidikan yang belum memiliki
manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan
masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan
tertinggal dari modernitas.
Hal ini mengakibatkan sasaran-sasaran ideal pendidikan yang seharusnya bisa
dipenuhi ternyata tidak bisa diwujudkan. Parahnya terkadang para pengelola pendidikan
tidak menyadari akan hal itu, oleh karena itu, tulisan ini akan sedikit mengulas tentang
problematika, tantangan serta isu-isu yang berkaitan dengan manajemen pendidikan.
Definisi Manajemen
Sebagaimana dicatat dalam Encyclopedia Americana manajemen merupakan "
the art of coordinating the ele-ments of factors of production towards the achievement of
the purposes of an organization", yaitu suatu seni untuk mengkoordinir sumberdaya
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Sumberdaya organisasi tersebut meliputi manusia(men), bahan baku(ma-terials) dan mesin(machines).Koordinasi dimaksudkan agar tujuan organisasi bisa dicapai dengan efisien sehingga dapat memenuhi harapan berbagai pihak (stake-holders) yang mempunyai kepentingan terhadap organisasi.
Pendidikan
Pendidikan merupakan setiap proses di mana seseorang memperoleh
pengetahuan (knowledge acquisition), mengembangkan kemampuan/keterampilan
(skills developments) sikap atau mengubah sikap (attitute change). Pendidikan adalah suatu proses transformasi anak didik agar mencapai hal _hal tertentu sebagai akibat
proses pendidikan yang diikutinya.
Sebagai bagian dari masyarakat, pendidikan memiliki fungsi ganda yaitu fungsi
sosial dan fungsi individual. Fungsi sosialnya untuk membantu setiap individu menjadi
anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan pengalaman kolektif masa
lalu dan sekarang, sedangkan fungsi individualnya untuk memungkinkan seorang
menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif dengan menyiapkannya
untuk menghadapi masa depan (pengalaman baru). Fungsi tersebut dapat dilakukan
secara formal seperti yang terjadi di berbagai lembaga pendidikan, maupun informal
melalui berbagai kontak dengan media informasi seperti buku, surat kabar, majalah, TV, radio dan sebagainya.
Manajemen Pendidikan
Dari pengertian diatas, manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk
mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan
prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dsb untuk mencapai tujuan
dan sasaran pendidikan.
Tujuan pendidikan sebagaimana tertuang pada UU Nomor 2 tahun 1989 pasal 4,
antara lain dirumuskan : "Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Sasaran pendidikan secara makro sebagaimana yang terdapat dalam lembagalembaga
pendidikan dapat diklasifikasikan pada beberapa hal, antara lain akuisisi
pengetahuan (sasaran kognitif), pengembangan keterampilan/kemampuan (sasaran
motorik) dan pembentukan sikap (sasaran afektif).
Sasaran-sasaran makro ini kemudian diterjemahkan dalam berbagai bentuk
sasaran mikro yang dapat diukur secara rinci dan spesifik berupa apa yang diharapkan
dari hasil belajar mengajar. Salah satu sasaran yang dapat diukur untuk sasaran kognitif
adalah nilai hasil akhir belajar (NEM) dan perankingan sebagai implikasi dari NEM.
Untuk sasaran motorik, terkait dengan apa yang telah dihasilkan oleh siswa, sedangkan
untuk sasaran afektif, terkait dengan perubahan sikap/perilaku siswa setelah proses
belajar mengajar.
Oleh karena itu, pendidikan pun memerlukan adanya manajemen pendidikan yang berupaya mengkoordinasikan semua elemen pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan. Sebagaimana pada manajemen secara umum, manajemen pendidikan
meliputi empat hal pokok, yaitu perencanaan pendidikan, pengorganisasian pendidikan,
penggiatan pendidikan, dan pengendalian atau pengawasan pendidikan. Secara umum
terdapat sepuluh komponen utama pendidikan, yaitu: peserta didik, tenaga pendidik,
tenaga kependidikan, paket instrusi pendidikan, metode pengajaran (dalam proses
belajar mengajar), kurikulum pendidikan, alat instruksi & alat penolong instruksi, fasilitas
pendidikan, anggaran pendidikan, dan evaluasi pendidikan.
Perencanaan pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan semua komponen
pendidikan, agar dapat terlaksana proses belajar mengajar yang baik dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pengorganisasian pendidikan ditujukan untuk
menghimpun semua potensi komponen pendidikan dalam suatu organisasi yang
sinergis untuk dapat menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya.
Penggiatan pendidikan merupakan pelaksanaan dari penyelenggaraan
pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan oleh organisasi penyelenggara
pendidikan dengan memparhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam
perencanaan. Sedangkan pengendalian pendidikan dimaksudkan untuk menjaga agar
penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan sesuai yang direncanakan dan semua
komponen pendidikan digerakkan secara sinergis dalam proses yang mengarah kepada
pencapaian tujuan pendidikan. Semua hal pokok tersebut ditujukan untuk menghasilkan
keluaran secara optimal seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan pendidikan.
Oleh karena itu, manajemen pendidikan dalam perkembangannya memerlukan
apa yang dikenal dengan Good Management Practice untuk pengelolaannya. Tetapi
pada prakteknya, Good management practice dalam pendidikan masih merupakan
suatu hal yang elusif. Banyak penyelenggara pendidikan yang beranggapan bahwa
manajemen pendidikan bukanlah suatu hal yang penting, karena kesalahan persepsi
yang menganggap bahwa domain manajemen adalah bisnis.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan
keberhasilan Good Management Practice dalam pendidikan, beberapa hal tersebut
teringkas dalam item-item sebagai berikut :

1. Sasaran Pendidikan: Aspek afektif
Salah satu isu utama keberhasilan pendidikan adalah sejauh mana tingkat
afektifitas yang dimiliki oleh anak didik. Apakah anak didik akan menjadi lebih saleh,lebih berbudi pekerti, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Hal itulah yang seharusnya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh pendidikan.
Fenomena yang ada berupa maraknya tawuran, konsumsi narkoba dan jual beli
ujian di sekolah membuktikan bahwa sasaran afektif masih terabaikan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Baik dalam pendidikan yang berbasis agama maupun
tidak. Perilaku dan sikap anak di berbagai lembaga pendidikan berbasis agama tidaklah
berbeda signifikan dengan mereka yang bersekolah di sekolah non agama. Padahal
aspek afektifitas inilah yang seharusnya menjadi nilai jual lebih lembaga pendidikan
berbasis agama dibandingkan lembaga pendidikan berbasis non agama.
Fenomena tersebut muncul karena sekolah hanya menanamkan nilai-nilai
skolastik secara teoritis saja, tanpa disertai dengan praktek langsung terhadap nilai-nilai tersebut.Dalam hal ini sasaran afektif yang ingin dicapai tidak dijabarkan secara nyata dalam kehidupan para anak didik. Sehingga Banyak institusi pendidikan berbasis agama berhasil menempatkan anak didiknya dalam posisi terhomat dari segi skolastik, namun, di balik sukses ini justru terjadi kegagalan besar dalam membentuk anak sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai kepedulian besar terhadap orang lain, masyarakat sekitar dan isu-isu sosial yang berkembang dalam masyarakat.
2. Manajemen Guru
Guru sebagai salah satu sumber daya terpenting pendidikan, sampai saat ini
masih merupakan sumber daya yang undermanaged atau bahkan mismanaged.
Pimpinan pendidikan pada umumnya masih melihat guru sebagai faktor produksi saja.
Padahal manajemen guru, adalah suatu hal yang bisa dikatakan sangat penting untuk
keberhasilan suatu pendidikan. Manajemen guru harus diatur mulai dari proses seleksi
dan rekrutmen guru, proses pengembangan kemampuan guru sebagai tenaga pengajar
sampai pada proses motivasi guru agar dapat mempunyai komitmen tinggi.
Parahnya guru diperlakukan dapat kita ketahui di berbagai media masa. Mulai
dari gaji yang tidak cukup untuk hidup layak sampai tidak adanya jaminan kesehatan
apalagi jaminan hari tua. Tidak sedikit guru yang kemudian bekerja sambilan sebagai
tukang ojek. Tidaklah juga mengherankan kalau ada di antara mereka yang melakukan
tindakan tidak terpuji seperti menjual soal ujian dan sebagainya. Pihak penyelenggara
pendidikan lebih mementingkan surplus sekolah ketimbang meningkatkan kesejahteraan
guru. Padahal pendidikan dan keberhasilan pendidikan mencapai sasaran amat ditentukan
oleh guru.

3. Peningkatan Pengawasan
Dalam manajemen pendidikan, fungsi pengawasan sepertinya menempati posisi
terlemah. Hal ini bisa kita lihat pada misalnya hampir tidak adanya upaya untuk
menganalisis mengapa NEM terus merosot dari tahun ke tahun atau mengapa jumlah
siswa merosot padahal biaya pendidikan sudah relatif murah. Selama ini, kegiatan
pengawasan hanya difokuskan kepada presensi guru dan murid. Walaupun hal itu
penting, namun lebih banyak aspek pendidikan yang berkaitan dengan pencapaian
sasaran yang masih luput dari pengawasan.

4. Manajer Pendidikan
Keberhasilan manajemen pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran serta
manajer/pengelola pendidikan. Selama ini yang kita lihat adalah peranan ganda yang
dijalankan oleh komponen pendidikan. Guru merangkap sebagai karyawan, dan bahkan
guru menempati posisi sebagai kepala institusi pendidikan itu sendiri. Efisiensi biaya
sering dijadikan alasan penerapan sistem tersebut. Padahal urusan manajemen sangat
berbeda dengan urusan belajar-mengajar. Seharusnya manajer pendidikan dipegang
oleh orang yang benar-benar ahli dalam manajemen dan tidak berperan sebagai guru
pengajar. Hal ini selain karena faktor professionalisme juga agar masing-masing
komponen lebih fokus pada bidang yang mereka garap.
Fenomena yang terjadi selama ini adalah promosi seorang guru yang baik
menjadi manajer pendidikan tanpa melewati persiapan memadai seperti
penyelenggaraan pelatihan dan penyiapan manajer sekolah. Tidaklah heran, banyak
guru baik yang lalu menjadi manajer pendidikan yang gagal, karena ia menempati
tingkatan inkompetensinya dalam bidang manajerial. Hal ini dibiarkan berlarut-larut,
tanpa adanya tindakan dari institusi pendidikan untuk secara serius mencari dan
memposisikan seorang manajer sebagai manajer pendidikan di institusi tersebut.
Kerberhasilan penyelenggaraan pendidikan ditentukan oleh tersedianya manajer
pendidikan yang handal. Isu ini menjadi lebih relevan mengingat persaingan dalam
setiap jenjang dunia pendidikan kita makin intens. Tanpa manajemen dan manajer
handal, akan banyak lembaga pendidikan yang gulung tikar karena tidak berhasil
memuaskan para stakeholders.

5. Partisipasi Manajer Bisnis
Dalam membenahi manajemen pendidikan, tidak ada salahnya bagi
penyelenggara pendidikan untuk memanfaatkan keterampilan menajerial para manajer
bisnis. Fakta di manca negara membuktikan keefektifan pendekatan ini. Karena fungsi
manajemen bersifat universal dan keterampilan manajemen dapat ditransfer dari satu
bidang ke bidang lain, maka jalan pintas yang dapat diambil yaitu, sambil menyiapkan
manajer pendidikan, memanfaatkan tenaga manajer bisnis yang tersedia untuk
mengelola pendidikan.
Kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman berbagai sekolah bisnis di
Amerika Serikat yang merekrut para manajer bisnis yang ternyata berhasil
meningkatkan kinerja sekolah bisnis tersebut. Hal ini selayaknya diuji cobakan pada
institusi-institusi pendidikan di tanah air, untuk mencapai kemajuan manajemen
pendidikan.

6. Aliansi Antarsekolah
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk memajukan institusi pendidikan adalah
melakukan aliansi antar institusi pendidikan. Melalui koordinasi asosiasi lembaga
pendidikan (seperti MDPK/MPPK), suatu lembaga pendidikan dapat belajar dari good
management practice lembaga pendidikan lain. Begitu juga melalui proses
benchmarking, suatu lembaga dapat belajar dari pengalaman lembaga lain.

7. Kebijakan Pemerintah
Selain faktor-faktor internal lembaga pendidikan, faktor eksternal berupa
keterlibatan pemerintah dalam pendidikan juga sedikit banyak mempengaruhi
manajemen pendidikan di negara tersebut. Misalnya pada manajemen pendidikan
sentralistis. Penerapan manajemen pendidikan sentralistis sebagai kebijakan
pemerintah ternyata menjadikan proses demokratisasi dan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan terutama di daerah, menjadi kurang terdorong dan nilainilai
lokal tempat institusi pendidikan kurang terakomodasi dalam pelaksanaan
pendidikan.
Isu-isu diatas menjadi PR bagi institusi pendidikan untuk menjadikan pendidikan
yang memiliki mutu dan kualitas tinggi. Hal ini memerlukan keterlibatan semua pihak
untuk mewujudkannya. Semua stakeholders pendidikan mencakup orang tua,
masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah nasional harus turut serta dalam penyelenggaraan aspek-aspek manajemen.
Selain itu perubahan sikap dan tingkah laku semua stakeholder yang semestinya
sesuai dengan tuntutan manajemen modern, juga merupakan salah satu tantangan yag
harus dihadapi. Karena hal ini memerlukan upaya penyadaran dan sosialisasi terhadap
semua stakeholder untuk menerima hal yang baru. Dan yang tak kalah pentingnya
adalah bagaimana memasukkan nilai-nilai lokal kedalam manajemen pendidikan
sehingga nantinya pendidikan akan menghasilkan keluaran yang berkomitmen untuk
membangun daerahnya bukan keluaran yang malah pergi meninggalkan daerahnya
hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya pribadi.

Penutup
Pada dasarnya manajemen pendidikan sangat diperlukan oleh semua pihak
yang terkait dengan pendidikan. Tetapi dalam penerapannya ternyata tidak sesederhana
yang dibayangkan. Ada banyak tantangan dan problematika yang harus ditangani demi
terlaksananya manajemen pendidikan. Tantangan tersebut tidak akan bisa diatasi jika
hanya ditangani oleh individu sebagai elemen pendidikan, tetapi semua pihak harus
bekerja sama bahu membahu untuk menghadapi sekaligus menyelesaikan problematika
tersebut agar cita-cita pendidikan bisa direalisasikan sebagaimana yang telah
direncanakan sebelumnya.

Referensi

1. http://www.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/200006/artikel3.htm.
2. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/14/1102.htm
3. Fatah, Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung. PT. Remaja
Rosdakarya.