1. Pengantar
Usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar telah banyak
dilakukan tetapi hasilnya belum begitu menggembirakan. Berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa paling sedikit ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
a. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi
pada keluaran atau hasil pendidikan terlalu memusatkan pada masukan dan kurang memperhatikan proses pendidikan.
b. Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan
mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
c. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan
pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan orientasi kembali tentang penyelenggaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2. Faktor Pendorong Perlunya Desentralisasi Pendidikan
Saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan1.
Beberapa perubahan tersebut antara lain:
a. Dari orientasi manajemen yang diatur oleh negara ke orientasi pasar. Aspirasi
masyarakat menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan yang timbul.
b. Dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi.
Pendekatan kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis.
c. Dari sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.
d. Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi
negara yang sudah tidak jelas lagi batasnya akibat pengaruh dari tata-aturan global. Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan nasional saja dan kurang menguntungkan dalam percaturan global.
Fenomena ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Di samping itu membawa dampak ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi2 terinci sbb:
• Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan
perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas
pendidikan.
• Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja
dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
• Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan
sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
• Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari
masyarakat.
• Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
Desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu:
a) Manajemen berbasis lokasi
b) Pendelegasian wewenang
c) Inovasi kurikulum
Tujuan utama Manjemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan.
Dengan adanya MBS sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Mereka dapat mengembangkan suatu visi pendidikan yang sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi tersebut secara mandiri.
MBS merupakan salah satu komponen sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran seperti yang terlihat dalam diagram di bawah ini. Komponen yang lain
adalah Peran Serta Masyarakat dan peningkatan mutu kegiatan belajar dan mengajar melalui PAKEM di SD/MI dan Pembelajaran Kontekstual di SLTP/MTs.
Pada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekuensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum
disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Hal ini sesuai dengan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah”.
Peraturan Keputusan Menteri Nomor 22/2006, dan 23/2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan menjadi dasar pengembangan kurikulum sekolah yang disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dalam pengembangan kurikulum, daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat kaitannya dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum, dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan Zimbabwe.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional. Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.
3. Konsep Dasar MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
4. Karakteristik MBS
Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah,
maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan
tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Ciriciri
MBS bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan
kinerja organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya manusia
(SDM), proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:
Ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS
a) Organisasi Sekolah
• Menyediakan manajemen/ organisasi/ kepemimpinan transformasional
* dalam mencapai tujuan sekolah
• Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya sendiri
• Mengelola kegiatan operasional sekolah
• Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat
• Menggerakkan partisipasi masyarakat
• Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
b) Proses Belajar mengajar
• Meningkatkan kualitas belajar siswa
• Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat
• Menyelenggarakan pembelajaran yang efektif
• Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa
• Berperanserta dalam memotivasi siswa
c) Sumber Daya Manusia
• Memberdayakan staf dan menempatkan personel yang dapat melayani keperluan siswa
• Memiliki staf dengan wawasan MBS
• Menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada semua staf
• Menjamin kesejahteraan staf dan siswa
• Menyelenggarakan forum /diskusi untuk membahas kemajuan kinerja sekolah
d) Sumber Daya dan Administrasi
• Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tsb,
sesuai dengan kebutuhan.
• Mengelola dana sekolah secara efektif dan efisien
• Menyediakan dukungan administratif
• Mengelola dan memelihara gedung dan sarana.
*Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempunyai tiga komponen
yang harus dimilikinya, yaitu:
• Memiliki karisma yang didalamnya termuat perasaan cinta antara Kepala Sekolah (KS) dan staf secara timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya dalam bekerja.
• Memiliki kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya.
• Memiliki kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual kepada staf. KS mampu mempengaruhi staf untuk berfikir dan mengembangkan atau mencari berbagai alternatif baru5. Secara ringkas perubahan pola manajemen pendidikan lama (konvensional) ke pola baru (MBS) dapat digambarkan sebagai berikut:
Pergeseran Pola Manajemen
Pola Lama Berubah ke Pola MBS
Sentralistik Desentralisasi
Subordinasi Otonomi
Pengambilan keputusan terpusat Pengambilan keputusan partisipatif
Pendekatan birokratik Pendekatan profesional
Pengorganisasian yang hirarkis Pengorganisasian yang setara
Mengarahkan Memfasilitasi
Dikontrol dan diatur Motivasi diri dan saling mempengaruhi
Infromasi ada pada yang berwenang Informasi terbagi
Menghindari risiko Mengelola risiko
Menggunakan dana sesuai Menggunakan dana sesuai kebutuhan
anggaran sampai habis dan seefisien mungkin
MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi namun masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. MBS harus mengakibatkan peningkatan proses belajar mengajar sehingga hasil belajarpun meningkat. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab, kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih serta dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh pemangku kepentingan.
Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut:
• Menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut.
• Mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan masukan pendidikan yang akan dikembangkan.
• Mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya.
• Bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah.
• Persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.
• Meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, dunia usaha dan dunia industri (DUDI) untuk mendukung kinerja sekolah.
• Menyusun dan melaksanakan program sekolah yang mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (pelaksanaan kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
• Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil, dan fasilitas).
• Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
• Menjamin terpeliharanya fasilitas dan sumber daya yang ada di sekolah dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
• Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
• Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.
• Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat, dll).
• Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
1. Miftah Thoha. “Desentralisasi Pendidikan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.
2. NCREL, 1995, Decentralization: Why, How, and Toward What Ends? NCREL’s Policy Briefs, report 1, 1993 dalam Nuril Huda “Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.
3. Gaynor, Cathy (1998) Decentralization of Education: Teacher management. Washington, DC, World Bank dalam Nuril Huda “Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.
4. Donoseputro, M (1997) Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Upaya Pencapaian Tujuan Pendidikan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Alat Pemersatu Bangsa, Suara Guru 4: 3-6.
5. dari Focus on School: The Future Organization of Education Service for Student, Department of Education, Queensland, Australia*)
6. Burns, J.M (1978) Leadership Harper & Row, New York dalam Rumtini (1977) Transformational and Transactional Leadership Performance of Principals of Junior Secondary School in Indonesia, unpublished thesis.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar