Senin, 30 November 2009

TUGAS PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN MELALUI PEMANFAATAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

OPTIMALISASI TUGAS PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN MELALUI PEMANFAATAN TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

Pendahuluan

Telah banyak laporan baik yang disampaikan oleh lembaga dalam negeri maupun luar negeri, yang menyatakan bahwa kualitas pendidikan kita rendah, bahkan sangat rendah. Laporan tersebut jelas, sangat memprihatinkan kita semua, terutama kita yang bergelut dalam dunia pendidikan. Laporan itu juga menunjukkan kepada kita akan kegagalan proses pendidikan yang kita laksanakan selama ini. Pertanyaannya adalah apa yang salah dalam sistem pendidikan kita? Lebih khusus adalah apa yang salah dalam pembelajaran di kelas? Jawaban atas pertanyaan ini patut kita temukan melalui suatu analisis yang mendalam dan komprehensif; tanpa harus saling menyalahkan dan merasa pihaknya yang paling benar dan telah melaksanakan tugas dengan baik.

Analisis terhadap sistem pendidikan dengan menggunakan pendekatan sistem adalah salah satu cara yang mungkin kita lakukan untuk menemukan kelemahan yang terjadi dalam sistem pendidikan kita. Apabila kita amati pendidikan sebagai suatu sistem, maka pada dasarnya pendidikan itu terdiri dari banyak komponen yang saling terkait, saling bergantung, dan saling mempengaruhi, sehingga apabila ada salah satu komponen yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya maka proses kerja sistem secara keseluruhan akan terganggu. Artinya adalah apabila hasil dari pendidikan kita tidak seperti yang kita harapkan, terpuruk, dan berkualitas rendah, maka berarti ada diantara komponen pendidikan kita yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Komponen-komponen yang yang dimaksud diantaranya adalah pendidik (guru) dan tenaga kependidikan, siswa, orang tua, masyarakat, sarana dan prasarana, materi (kurikulum), sistem evaluasi, dan aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Idealnya setiap komponen tersebut dianalisis dan dievaluasi, seberapa jauh masing-masing komponen tersebut telah berfungsi sesuai tugas dan fungsinya. Salah satu komponen yang patut kita telusuri akan kekuatan dan kelemahannya adalah komponen pendidik dan tenaga kependidikan. Penulis tertarik membicarakan komponen ini, karena pendidik dan tenaga kependidikan merupakan komponen yang paling vital dan strategis dalam menentukan keberhasilan proses dan hasil pendidikan; Pendidik dan tenaga kependidikan menentukan kualitas proses pembelajaran serta hasil belajar yang dialami oleh siswa. Sebagus dan selengkap apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh suatu lembaga pendidikan, kalau tenaga pendidik dan kependidikannya tidak kompeten maka sarana dan prasarana itu pun tidak akan banyak membantu para siswa dalam melaksanakan proses belajarnya; sebagus apapun konsep dan isi kurikulum yang dikembangkan oleh pemerintah, namun apabila tenaga pendidik dan kependidikannya tidak mampu mengimplementasikannya dengan baik, maka kurikulum itupun tidak akan berdampak apa-apa pada siswa; pengalaman belajar yang diharapkan dimiliki siswa pun akan menjadi sangat lemah. Intinya adalah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan hendaknya berangkat dari perbaikan dan peningkatan kualitas dan kompetensi para pendidik dan tenaga kependidikan agar mampu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, yaitu melaksanakan proses pembelajaran yang kondusif dan efektif.
Peran dan Tugas Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Pendidik dan tenaga kependidikan adalah dua “profesi” yang sangat berkaitan erat dengan dunia pendidikan, sekalipun lingkup keduanya berbeda. Hal ini dapat dilihat dari pengertian keduanya yang tercantum dalam Pasal 1 Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Sementara Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Dari definisi di atas jelas bahwa tenaga kependidikan memiliki lingkup “profesi” yang lebih luas, yang juga mencakup di dalamnya tenaga pendidik. Pustakawan, staf administrasi, staf pusat sumber belajar. Kepala sekolah adalah diantara kelompok “profesi” yang masuk dalam kategori sebagai tenaga kependidikan. Sementara mereka yang disebut pendidik adalah orang-orang yang dalam melaksanakan tugasnya akan berhadapan dan berinteraksi langsung dengan para peserta didiknya dalam suatu proses yang sistematis, terencana, dan bertujuan. Penggunaan istilah dalam kelompok pendidik tentu disesuaikan dengan lingkup lingkungan tempat tugasnya masing-masing. Guru dan dosen, misalnya, adalah sebutan tenaga pendidik yang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi.

Hubungan antara pendidik dan tenaga kependidikan dapat digambarkan dalam bentuk spektrum tenaga kependidikan berikut: (Miarso, 1994)
Dari gambar di atas, tampak sekalipun pendidik (guru) yang akan berhadapan langsung dengan para peserta didik, namun ia tetap memerlukan dukungan dari para tenaga kependidikan lainnya, sehingga ia dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Karena pendidik akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya apabila berada dalam konteks yang hampa, tidak ada aturan yang jelas, tidak didukung sarana prasarana yang memadai, tidak dilengkapi dengan pelayanan dan sarana perpustakaan serta sumber belajar lain yang mendukung. Karena itulah pendidik dan tenaga kependidikan memiliki peran dan posisi yang sama penting dalam konteks penyelenggaraan pendidikan (pembelajaran). Karena itu pula, pada dasarnya baik pendidik maupun tenaga kependidikan memiliki peran dan tugas yang sama yaitu melaksanakan berbagai aktivitas yang berujung pada terciptanya kemudahan dan keberhasilan siswa dalam belajar.
Hal ini telah dipertegas dalam Pasal 39 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, yang menyatakan bahwa (1) Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan, dan (2) Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Mencermati tugas yang digariskan oleh Undang-undang di atas khususnya untuk pendidik dan tenaga kependidikan di satuan pendidikan sekolah, jelas bahwa ujung dari pelaksaan tugas adalah terjadinya suatu proses pembelajaran yang berhasil. Segala aktifitas yang dilakukan oleh para pendidik dan tenaga kependidikan harus mengarah pada keberhasilan pembelajaran yang dialami oleh para peserta didiknya. Berbagai bentuk pelayanan administrasi yang dilakukan oleh para administratur dilaksanakan dalam rangka menunjang kelancaran proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru; proses pengelolaan dan pengembangan serta pelayanan-pelayanan teknis lainnya yang dilakukan oleh para manajer sekolah juga harus mendorong terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas dan efektif. Lebih lagi para pendidik (guru), mereka harus mampu merancang dan melaksanakan proses pembelajaran dengan melibatkan berbagai komponen yang akan terlibat dalamnya. Sungguh suatu tugas yang sangat berat.
Ruang lingkup tugas yang luas menuntut para pendidik dan tenaga kependidikan untuk mampu melaksanakan aktifitasnya secara sistematis dan sistemik. Karena itu tidak heran kalau ada tuntutan akan kompetensi yang jelas dan tegas yang dipersyaratkan bagi para pendidik, semata-mata agar mereka mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para pendidik jelas telah dirumuskan dalam pasal 24 ayat (1), (4), dan (5) PP No. 19 tahun 2005 tentang Standard Nasional Pendidikan. Dalam PP tersebut dinyatakan bahwa pendidik harus memiliki kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Karakteristik Teknologi Pembelajaran

Apa yang dapat dilakukan dan disumbangkan oleh disiplin ilmu teknologi pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia? Pertanyaan mendasar ini patut direspon secara cermat dan tuntas. Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan di atas dapat kita lakukan melalui kajian yang komprehensif apa itu teknologi pembelajaran. Teknologi pembelajaran didefinisikan sebagai teori dan praktek dalam disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian proses dan sumber untuk belajar. Definisi ini menunjukkan kepada kita bahwa bidang teknologi pembelajaran memokuskan kajiannya pada bidang-bidang disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian berbagai proses dan sumber yang diperlukan peserta didik untuk belajar. Masing-masing bidang kajian sekaligus menjadi kawasan teknologi pembelajaran yang mengandung kerangka pengetahuan yang didasarkan pada hasil penelitian dan pengalaman. Karena itulah pengkajian dalam setiap kawasan dilakukan secara teori dan praktek.

Masing-masing kawasan memiliki fokus studi yang lebih dalam dan rinci. Kawasan disain, misalnya, meliputi studi tentang disain sistem pembelajaran, disain pesan, strategi pembelajaran, dan karakteristik pebelajar. Kawasan pengembangan dikategorikan ke dalam empat kategori, yaitu teknologi cetak, teknologi audio visual, teknologi berbasis komputer, dan teknologi terpadu. Kawasan pemanfaatan juga dikelompokkan ke dalam empat kategori, yaitu pemanfaatan media, difusi inovasi, implementasi dan pelembagaan, dan kebijakan dan regulasi. Sama halnya dengan kawasan-kawasan sebelumnya, kawasan pengelolaan juga dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu pengelolaan proyek, pengelolaan sumber, pengelolaan sistem penyampaian, dan pengelolaan informasi. Demikian juga dengan kawasan penilaian dibagi menjadi empat kategori, yaitu analisis masalah, pengukuran beracuan patokan, penilaian formatif, dan penilaian sumatif.

Konsep teknologi pembelajaran juga dapat dilihat dari dua dimensi lain, yaitu pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, dan sebagai suatu pendekatan yang komprehensif dan terpadu dalam memecahkan masalah belajar. Pada dimensi yang pertama suatu pembelajaran dikatakan telah menggunakan teknologi pembelajaran apabila di dalamnya telah dimanfaatkan berbagai teknologi, baik itu teknologi sederhana (konvensional) maupun teknologi tinggi (komunikasi dan informasi). Sementara itu bila teknologi pembelajaran dipandang sebagaimana dimensi kedua, maka teknologi pembelajaran akan dimanfaatkan untuk memecahkan berbagai masalah belajar anak dengan “memanipulasi” berbagai faktor eksternal (external intervention) secara komprehensif dan terpadu. Proses yang dilakukan mencakup kegiatan pengelolaan (personil dan organisasi), pengembangan (konsep dan teori berdasarkan riset), dan pengembangan sistem pembelajaran.

Kegiatan pengelolaan berfungsi mengatur agar peran dan fungsi organisasi dapat berjalan dengan baik, karena dilakukan oleh para personil yang tahu akan tugas dan tanggung jawabnya. Melalui pengelolaan organisasi dan personil yang baik akan terjadi proses belajar dan pembelajaran yang kondusif, sehingga siswa dapat melaksanakan kegiatan belajarnya dengan baik. Aspek pengembangan berfungsi mengembangkan berbagai konsep dan teori (melalui riset) yang akan dapat digunakan untuk menganalisis berbagai kesulitan yang dialami oleh siswa dan memberikan solusi atas masalah yang ada; mendisain pembelajaran dan rencana produksinya; mengembangkan evaluasi yang tepat, menrancang logistiknya, dan mengembangkan cara pemanfaatnya serta menyebarluaskannya. Sementara aspek sistem pembelajaran berfungsi mengembangkan sistem pembelajaran yang dapat memfasilitasi siswa belajar, dengan cara mengatur komponen-komponen sistem secara terpadu dan bersistem. Komponen sistem pembelajaran: orang, pesan, bahan, alat, teknik, dan setting (latar).
Mengamati karakteristik teknologi pembelajaran yang sangat konsern terhadap proses dan hasil belajar anak, dan berusaha mengatasi masalah-masalah belajar anak, maka sangat wajar kalau teknologi pembelajaran memiliki potensi yang besar untuk memberi konstribusi bagi keberhasilan pembelajaran yang berlangsung. Hal inipun telah terbukti dari hasil pengkajian empirik di Amerika Serikat yang dilakukan oleh The Commission on Instructional Technology yang menunjukkan potensi teknologi instruksional sebagai berikut:
1. Meningkatkan produktivitas pendidikan
2. Memberikan kemungkinan pendidikan yang sifatnya lebih individual
3. Memberikan dasar pembelajaran yang ilmiah
4. Meningkatkan kemampuan pembelajaran
5. Memungkinkan belajar lebih akrab
6. memungkinkan pemerataan pendidikan yang bermutu.
Peran Teknologi Pembelajaran dalam Mendukung Tugas Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Bila kita cermati peran dan tugas para pendidik dan tenaga kependidikan di atas, yang intinya adalah menciptakan berbagai aktivitas untuk keberhasilan siswa belajar, dan karakteristik teknologi pembelajaran yang memokuskan kajiannya pada disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian proses dan hasil belajar, maka nyata bahwa teknologi pembelajaran akan dapat membantu para pendidik dan tenaga kependidikan melaksanakan tugasnya dengan baik. Di atas dinyatakan bahwa salah satu tugas pendidik (guru) adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran serta menilai hasil belajar. Tugas ini akan dapat dilaksanakan dengan baik dengan memanfaatkan bidang teknologi pembelajaran, khususnya pada kawasan disain, pengembangan, dan penilaian.
Dalam kawasan disain akan dibahas dan dikembangkan berbagai aspek yang diperlukan oleh para pendidik (guru) dalam proses merencanakan pembelajaran. Kemampuan mendisain sistem pembelajaran, pemahaman tentang strategi pembelajaran dan karakteristik pebelajar akan sangat membantu para pendidik dalam membuat perencanaan pembelajarannya. Dengan perencanaan yang baik, maka proses pembelajaran yang akan dilaksanakan akan berjalan dengan baik pula.

Kawasan pengembangan akan banyak membantu para pendidik (guru) dalam melaksanakan pembelajarannya, karena pada kawasan ini dibahas berbagai teknologi yang dapat digunakan dalam melaksanakan pembelajaran. Pada saat melaksanakan pembelajaran seorang guru memerlukan banyak sumber belajar. Saat ini sumber belajar tidak cukup hanya dengan mengandalkan guru, tetapi diperlukan sumber belajar yang bervariasi. Berbagai teknologi baik yang konvensional maupun yang berbasis teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran. Teknologi cetak menghasilkan berbagai sumber belajar dalam bentuk bahan ajar cetak yang seraca sengaja didisain untuk pembelajaran. Teknologi Audio visual dan teknologi berbasis komputer memungkinkan pebelajar dengan berbagai variasi gaya belajarnya akan terakomodir dengan baik, sehingga mereka dapat melaksanakan kegiatan belajar dengan efektif.

Sementara kawasan penilaian akan membantu para pendidik (guru) dalam melaksanakan tugasnya dalam menilai hasil belajar. Penilaian merupakan bagian integral dalam kegiatan pembelajaran, karenanya menjadi tugas yang tidak dapat diabaikan. Penilaian sangat diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang keberhasilan proses dan hasil belajar. Karena itu baik pada saat proses pembelajaran berlangsung, maupun di akhir proses pembelajaran harus dilakukan evaluasi. Dalam hal ini evaluasi formatif dan sumatif menjadi sangat penting keberadaannya.

Secara lebih spesifik, apabila para pendidik (guru) menerapkan konsep teknologi pembelajaran dalam sistem pembelajarannya, maka akan dapat dilihat ciri-ciri umum berikut:
1. telah dimanfaatkannya sumber-sumber belajar secara bervariasi baik berupa orang, pesan, bahan, peralatan, teknik, dan latar yang memungkinkan orang untuk belajar secara terarah dan terkendali
2. dilaksanakannya fungsi pengelolaan atas organisasi dan personil yang melakukan kegiatan pengembangan dan atau pemanfaatan sumber belajar
3. diterapkannya berbagai jenis pola instruksional dengan terintegrasinya sumber belajar baru dalam kegiatan belajar mengajar
4. adanya standar mutu bahan ajar dan tersedianya sejumlah pilihan bahan ajar yang mutunya teruji
5. berkurangnya keragaman proses pengajaran, namun dengan mutu yang lebih baik
6. dilakukannya perancangan dan pengembangan pembelajaran oleh para ahli yang khusus bertanggung jawab untuk itu dalam suatu kerjasama tim
7. tersedianya bahan ajar dengan kualitas lebih baik, serta jumlah dan macam yang lebih banyak
8. dilakukannya penilaian dan penyempurnaan atas segala tahap dalam proses pembelajaran
9. diselenggarakannya pengukuran hasil belajar berdasarkan penguasaan tujuan yang ditetapkan
10. berkembangnya pengertian dan peranan guru.


ETIKA PROFESI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

1. ETIKA PROFESI PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN SERI MATERI PEMBEKALAN PENGAJARAN MIKRO 2008
2. KONSEP DASAR
o Etika adalah pedoman dalam bersikap dan berperilaku yang didalamnya berisi garis besar nilai moral dan norma yang mencerminkan masyarakat kampus yang ilmiah, edukatif, kreatif, santun dan bermartabat.
o P embentukan sikap, kepribadian, moral, dan karakter sosok seorang guru/pendidik harus dimulai sejak mahasiswa calon guru/pendidik memasuki dunia pendidikan tenaga kependidikan (LPTK).
3. Etika: UMUM
§ Memiliki sikap jujur, optimis, kreatif, rasional, mampu berfikir kritis, rendah hati, demokratis, sopan, mengutamakan kejujuran akademik, menghargai waktu, dan terbuka terhadap perkembangan ipteks
§ Mampu merancang, melaksanakan, dan menyelesaikan studi dengan baik.
§ Mampu menciptakan kehidupan kampus yang aman, nyaman, bersih, tertib, dan kondusif
§ Mampu bertanggungjawab secara moral, spiritual, dan sosial untuk mengamalkan ipteks
4. Etika: KHUSUS
o Berpakaian rapi, bersih, sopan, serasi sesuai dengan konteks keperluan
o Bergaul, bertegur sapa, dan bertutur kata dengan sopan, wajar, simpatik, edukatif, bermakna sesuai dengan norma moral yang berlaku
o Mengembangkan iklim penciptaan karya ipteks yang mencerminkan kejernihan hati nurani, bernuansa pengabdian pada Tuhan YME, dan mendorong pada kualitas hidup kemanusiaan.
5. ETIKA PROFESI
o memiliki kepribadian yang tangguh yang bercirikan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, kreatif, mandiri.
o memiliki wawasan kependidikan, psikologi, budaya peserta didik dan lingkungan.
o mampu melaksanakan praktik bimbingan dan konseling secara professional.
o mampu memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut bimbingan konseling.
o mampu mengembangkan dan mempraktekkan kerja sama dalam bidangnya dengan pihak terkait.
o memiliki wawasan psiko-sosial kependidikan dan kemampuan memberdayakan warga belajar dalam konteks lingkungannya.
o memiliki pengetahuan tentang hakikat, tujuan, prinsip evaluasi pendidikan.
6. ETIKA PROFESI
o mampu menerapkan fungsi manajemen dan kepemimpinan pendidikan dalam berbagai konteks.
o memiliki wawasan tentang filosofi, strategi dan prosedur pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi kurikulum untuk berbagai konteks.
o memiliki wawasan yang luas tentang teknologi pembelajaran.
o mampu menerapkan berbagai prinsip teknologi pembelajaran dalam berbagai konteks.
o mampu memecahkan masalah pendidikan melalui teknologi pembelajaran.
o mampu mengembangkan dan mempraktikkan kerja sama dalam bidangnya dengan pihak terkait.


KESIMPULAN

Salah satu tugas pendidik (guru) adalah membuat disan dan melaksanakan proses pembelajaran serta melaksanakan penilaian hasil belajar. Tugas ini akan dapat dioptimalkan dengan memanfaatkan teknologi pembelajaran. Kawasan teknologi pembelajaran yang komprehensif, yang menyangkut tahap disain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, dan penilaian, dapat membantu para pendidik (guru) dalam mengoptimalkan pelaksanaan tugasnya sebagai perancang dan pengelola pembelajaran, serta penilai hasil belajar.
Di sisi lain, pelaksanaan tugas pendidik (guru) pada akhirnya adalah untuk membantu para pebelajar melakukan kegiatan belajar dan memecahkan masalah belajar. Hal ini pula yang menjadi obyek utama teknologi pembelajaran, yaitu masalah belajar manusia, dan melakukan intervensi eksternal dengan memanipulasi berbagai sumber belajar untuk mengatasinya.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
  2. Seels, Barbara B., Rita C. Richey. Terjemahan: Dewi Salam P., dkk. Teknologi Pembelajaran, Definisi dan Kawasannya.
  3. Undang-undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional
  4. Yusufhadi Miarso. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media, 2004.

Selasa, 24 November 2009

BIMBINGAN BELAJAR & KONSELING

Konsep dasar Bimbingan dan konseling

• Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen dlm keseluruhan sistem pendidikan khususnya di sekolah; guru sbg salah satu pendukung unsur pelaksana pendidikan yang mempunyai tanggung jawab sebagai pendukung pelaksana layanan bimbingan pendidikan di sekolah, dituntut untuk memiliki wawasan yang memadai terhadap konsep-konsep dasar bimbingan dan konseling di sekolah.


Lingkup bahasan


• Latar belakang berbagai aspek yang berkaitan dengan perlunya layanan bimbingan di sekolah
– Latar belakang sosial kultural
– Latar belakang pedagogis
– Latar belakang psikologis
• Pengertian, prinsip dan asas bimbingan dan konseling di sekolah.
• Fungsi, sasaran, dan ruang lingkup layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
• Latar belakang pedagogis
Sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah, pendidikan diartikan sebagai suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Sedangkan tujuan pendidikan sebagaimana dikemukakan dalam GBHN adalah: “Untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”. Dan pengertian dan tujuan di atas, jelas bahwa yang menjadi tujuan inti dari pendidikan adalah perkembangan kepribadian secara optimal dan setiap anak didik sebagai pribadi. Dengan demikian setiap kegiatan proses pendidikan diarahkan kepada tercapainya pribadi-pribadi yang berkembang optimal sesuai dengan potensi masing-masing.


Untuk menuju tercapainya pribadi yang berkembang, maka kegiatan pendidikan hendaknya bersifat menyeluruh yang tidak hanya berupa kegiatan instruksional (pengajaran), akan tetapi meliputi kegiatan yang menjamin bahwa setiap anak didik secara pribadi mendapat layanan sehingga akhirnya dapat berkembang secara optimal. Kegiatan pendidikan yang diinginkan seperti tersebut di atas, adalah kegiatan pendidikan yang ditandai dengan pengadministrasian yang baik, kurikulum beserta proses belajar mengajar yang memadai, dan layanan pribadi kepada anak didik melalui bimbingan.

Dalam hubungan inilah bimbingan mempunyai peranan yang amat penting dalam pendidikan, yaitu membantu setiap pribadi anak didik agar berkembang secara optimal. Dengan demikian maka hasil pendidikan sesungguhnya akan tercermin pada pribadi anak didik yang berkembang baik secara akademik, psikologis, maupun sosial.

• Kalau kita menyimak kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, masih terdapat kecenderungan bahwa pendidikan belum sepenuhnya dapat membantu perkembangan kepribadian anak didik secara optimal. Secara akademis masih nampak gejala bahwa anak didik belum mencapai prestasi belajar secara optimal. Hal ini nampak antara lain dalam gejala-gejala: putus sekolah, tinggal kelas, lambat belajar, berprestasi rendah, kekurang-percayaan masyarakat terhadap basil pendidikan, dan sebagainya. Secara psikologis masih banyak adanya gejala-gejala perkembangan kepribadian yang kurang matang, kurang percaya pada diri sendiri, kecemasan, putus asa, bersikap santai, kurang responsif, ketergantungan, pribadi yang tidak seimbang, dan sebagainya. Demikian juga secara sosial ada kecenderungan anak didik belum memiliki kemampuan penyesuaian sosial secara memadai.



Fakta:


• Pendidikan belum sepenuhnya dapat membantu perkembangan kepribadian anak didik secara optimal.
• Secara akademis masih nampak gejala bahwa anak didik belum mencapai prestasi belajar secara optimal pula.
• Secara psikologis masih banyak adanya gejala-gejala perkembangan kepribadian yang kurang matang, kurang percaya pada diri sendiri, kecemasan, putus asa, bersikap santai, kurang responsif, ketergantungan, pribadi yang tidak seimbang, dan sebagainya


Ada tiga hal pokok yang menjadi latar belakang perlunya bimbingan dilihat dan segi pendidikan.
• Pertama adalah dilihat dan hakikat pendidikan sebagai suatu usaha sadar dalam mengembangkan kepribadian. Hal ini mengandung implikasi bahwa proses pendidikan menuntut adanya pendekatan yang lebih luas dari pada sekedar pengajaran. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan pribadi melalui layanan bimbingan dan konseling.
• Kedua, pendidikan senantiasa berkembang secara dinamis dan karenanya selalu terjadi perubahan perubahan dan penyesuaian dalam komponen-komponennya. Menghadapi perkembangan ini para siswa sebagai subjek didik memerlukan bantuan dalam penyesuaian diri melalui layanan bimbingan.
• Ketiga pada hakikatnya guru mempunyai peranan yang tidak hanya sebagai pengajar,tetapi lebih luas dari itu, yaitu sebagai pendidik. Sebagai pendidik, maka guru seyogyanya dapat menggunakan pendekatan pribadi dalam mendidik para siswanya. Pendekatan pribadi ini diwujudkan melalui layanan bimbingan.

• Masalah Belajar
• Dalam keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar rnerupakan kegiatan inti. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pendidikan itu sendiri dapat diartikan sebagai bantuan perkembangan dengan melalui kegiatan belajar. Secara psikologis belajar dapat diartikan sebagai suatu proses memperoleh perubahan tingkah laku untuk memperoleh pola pola respons yang baru yang diperlukan dalam interaksi dengan lingkungan secara efisien.
• Dalam proses belajar dapat timbul berbagai masalah baik bagi pelajar itu sendiri maupun bagi pengajar. Beberapa masalah belajar, misalnya bagamana menciptakan kondisi yang baik agar perbuatan belajar berhasil, memilih metode dan alat-alat yang tepat sesuai dengan jenis dan situasi belajar, membuat rencana belajar bagi siswa, menyesuaikan proses belajar dengan keunikan siswa, penilaian hasil belajar, diagnosis kesulitan belajar, dan sebagainya. Bagi siswa sendiri, masalah-masalah belajar yang mungkin timbul misalnya pengaturan waktu belajar, memilih cara belajar, menggunakan buku-buku pelajaran, belajar berkelompok, mempersiapkan ujian, memilih mata kuliah yang cocok, dsb.


Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut

1) Identifikasi kasus

Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :

1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial

2) Identifikasi Masalah

Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.

3) Diagnosis

Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.

4) Prognosis

Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.

5) Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)

Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.

6) Evaluasi dan Follow Up

Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.

Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :

* Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
* Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
* Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.

Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila:

1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya




Kesimpulan


• Uraian di atas, menjelaskan bahwa perlunya layanan bimbingan di sekolah adalah berlatarbelakangkan tiga aspek. Pertama adalah aspek lingkungan, khususnya lingkungan. sosial kultural, yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi individu siswa sebagai subjek didik, dan sekolah sebagai lembaga pendidikan. Sebagai akibat dari lingkungan pengaruh sosial-kultural ini, maka individu memerlukan adanya bantuan dalam perkembangannya, dan sekolahpun memerlukan pendekatan khusus. Bantuan dan pendekatan yang diperlukan adalah layanan bimbingan dan konseling.
• Aspek yang kedua adalah lembaganya itu sendiri yaitu pendidikan yang mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan kepribadian subjek didik. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dilaksanakan secara tuntas baik dalam proses kegiatannya maupun tindak dan para pelaksana nya yaitu guru sebagai pendidik. Untuk menuntaskan pendidikan, diperlu kan adanya layanan bimbingan dan konseling.
• Aspek ketiga adalah yang menyangkut segi subjek didik sebagai pribadi yang unik, dinamik dan berkembang, memerlukan pendekatan dan bantuan yang khusus melalui layanan bimbingan dan konseling.
• Dengan demikian dapat dikatakan bahwa aspek lingkungan (sosial kultural) pendidikan, dan siswa (psikologis) merupakan latar belakang perlunya layanan bimbingan dan konseling di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

Abin Syamsuddin, (2003), Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya

Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud

Prayitno (2003), Panduan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah

Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI

Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia.

Minggu, 18 Oktober 2009

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

1. Pengantar

Usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar telah banyak
dilakukan tetapi hasilnya belum begitu menggembirakan. Berbagai studi dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa paling sedikit ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
a. Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidikan nasional yang berorientasi
pada keluaran atau hasil pendidikan terlalu memusatkan pada masukan dan kurang memperhatikan proses pendidikan.
b. Kedua, penyelengaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, insiatif, dan kreativitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan
mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
c. Ketiga, peran serta masyarakat terutama orangtua siswa dalam penyelenggaraan
pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peranserta mereka sangat penting di dalam proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi, dan akuntabilitas. Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan orientasi kembali tentang penyelenggaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).

2. Faktor Pendorong Perlunya Desentralisasi Pendidikan
Saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan1.
Beberapa perubahan tersebut antara lain:
a. Dari orientasi manajemen yang diatur oleh negara ke orientasi pasar. Aspirasi
masyarakat menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan yang timbul.
b. Dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi.
Pendekatan kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis.
c. Dari sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan. Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.
d. Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya seakan-akan menjadi
negara yang sudah tidak jelas lagi batasnya akibat pengaruh dari tata-aturan global. Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan tata-aturan nasional saja dan kurang menguntungkan dalam percaturan global.

Fenomena ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Di samping itu membawa dampak ketergantungan sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat
setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan budaya menunggu petunjuk dari atas. Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi2 terinci sbb:

• Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan
perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas
pendidikan.
• Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja
dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
• Ketidakmampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan
sekolah setempat dan masyarakat yang beragam.
• Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari
masyarakat.
• Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
Desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu:
a) Manajemen berbasis lokasi
b) Pendelegasian wewenang
c) Inovasi kurikulum

Tujuan utama Manjemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah peningkatan mutu pendidikan.
Dengan adanya MBS sekolah dan masyarakat tidak perlu lagi menunggu perintah dari atas. Mereka dapat mengembangkan suatu visi pendidikan yang sesuai dengan keadaan setempat dan melaksanakan visi tersebut secara mandiri.

MBS merupakan salah satu komponen sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pembelajaran seperti yang terlihat dalam diagram di bawah ini. Komponen yang lain
adalah Peran Serta Masyarakat dan peningkatan mutu kegiatan belajar dan mengajar melalui PAKEM di SD/MI dan Pembelajaran Kontekstual di SLTP/MTs.

Pada dasarnya manajemen berbasis lokasi dilaksanakan dengan meletakkan semua urusan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengurangan administrasi pusat adalah konsekuensi dari yang pertama dengan diikuti pendelegasian wewenang dan urusan pada sekolah. Inovasi kurikulum menekankan pada pembaharuan kurikulum sebesar-besarnya untuk meningkatkan kualitas dan persamaan hak bagi semua peserta didik. Kurikulum
disesuaikan benar dengan kebutuhan peserta didik di daerah atau sekolah. Hal ini sesuai dengan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah”.
Peraturan Keputusan Menteri Nomor 22/2006, dan 23/2006 tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan menjadi dasar pengembangan kurikulum sekolah yang disebut KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dalam pengembangan kurikulum, daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan silabus yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan tuntutan daerah. Pada umumnya program pendidikan yang tercermin dalam silabus sangat erat kaitannya dengan program-program pembangunan daerah. Sebagai contoh, suatu daerah yang menetapkan untuk mengembangkan ekonomi daerahnya melalui bidang pertanian, implikasinya silabus IPA akan diperkaya dengan materi-materi biologi pertanian dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pertanian. Manajemen berbasis lokasi yang merujuk ke sekolah, akan meningkatkan otonomi sekolah dan memberikan kesempatan kepada tenaga sekolah, orangtua, siswa, dan anggota masyarakat dalam pembuatan keputusan.
Berdasarkan hasil-hasil kajian yang dilakukan di Amerika Serikat, Site Based Management merupakan strategi penting untuk meningkatkan kualitas pembuatan keputusan-keputusan pendidikan dalam anggaran, personalia, kurikulum, dan penilaian. Studi yang dilakukan di El Savador, Meksiko, Nepal, dan Pakistan menunjukkan pemberian otonomi pada sekolah telah meningkatkan motivasi dan kehadiran guru. Tetapi desentralisasi pengelolaan guru tidak secara otomatis meningkatkan efesiensi operasional. Jika pengelola di tingkat daerah tidak memberikan dukungannya, pengelolaan semakin tidak efektif. Oleh karena itu, beberapa negara telah kembali ke sistem sentralisasi dalam hal pengelolaan ketenagaan, misalnya Kolombia, Meksiko, Nigeria, dan Zimbabwe.
Misi desentralisasi pendidikan adalah meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, meningkatkan pendayagunaan potensi daerah, terciptanya infrastruktur kelembagaan yang menunjang terselenggaranya sistem pendidikan yang relevan dengan tuntutan jaman, antara lain terserapnya konsep globalisasi, humanisasi, dan demokrasi dalam pendidikan. Penerapan demokratisasi dilakukan dengan mengikutsertakan unsur-unsur pemerintah setempat, masyarakat, dan orangtua dalam hubungan kemitraan pendidikan. Kurikulum dikembangkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan. Hal ini tercermin dengan adanya kurikulum lokal. Kurikulum juga harus mengembangkan kebudayaan daerah dalam rangka mengembangkan kebudayaan nasional. Proses belajar mengajar menekankan terjadinya proses pembelajaran yang menumbuhkan kesadaran lingkungan yaitu memanfaatkan lingkungan baik fisik maupun sosial sebagai media dan sumber belajar, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan alat pemersatu bangsa.

3. Konsep Dasar MBS
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) pada hakikatnya adalah penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri oleh sekolah dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

4. Karakteristik MBS
Apabila manajemen berbasis lokasi lebih difokuskan pada tingkat sekolah,
maka MBS akan menyediakan layanan pendidikan yang komprehensif dan
tanggap terhadap kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada. Ciriciri
MBS bisa dilihat dari sudut sejauh mana sekolah tersebut dapat mengoptimalkan
kinerja organisasi sekolah, pengelolaan sumber daya manusia
(SDM), proses belajar-mengajar dan sumber daya sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

Ciri-ciri sekolah yang melaksanakan MBS
a) Organisasi Sekolah
• Menyediakan manajemen/ organisasi/ kepemimpinan transformasional
* dalam mencapai tujuan sekolah

• Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya sendiri
• Mengelola kegiatan operasional sekolah
• Menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat
• Menggerakkan partisipasi masyarakat
• Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
b) Proses Belajar mengajar
• Meningkatkan kualitas belajar siswa
• Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat
• Menyelenggarakan pembelajaran yang efektif
• Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa
• Berperanserta dalam memotivasi siswa
c) Sumber Daya Manusia
• Memberdayakan staf dan menempatkan personel yang dapat melayani keperluan siswa
• Memiliki staf dengan wawasan MBS
• Menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada semua staf
• Menjamin kesejahteraan staf dan siswa
• Menyelenggarakan forum /diskusi untuk membahas kemajuan kinerja sekolah
d) Sumber Daya dan Administrasi
• Mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tsb,
sesuai dengan kebutuhan.
• Mengelola dana sekolah secara efektif dan efisien
• Menyediakan dukungan administratif
• Mengelola dan memelihara gedung dan sarana.

*Pada dasarnya kepemimpinan transformasional mempunyai tiga komponen
yang harus dimilikinya, yaitu:
• Memiliki karisma yang didalamnya termuat perasaan cinta antara Kepala Sekolah (KS) dan staf secara timbal-balik sehingga memberikan rasa aman, percaya diri, dan saling percaya dalam bekerja.
• Memiliki kepekaan individual yang memberikan perhatian setiap staf berdasarkan minat dan kemampuan staf untuk pengembangan profesionalnya.
• Memiliki kemampuan dalam memberikan simulasi intelektual kepada staf. KS mampu mempengaruhi staf untuk berfikir dan mengembangkan atau mencari berbagai alternatif baru5. Secara ringkas perubahan pola manajemen pendidikan lama (konvensional) ke pola baru (MBS) dapat digambarkan sebagai berikut:

Pergeseran Pola Manajemen

Pola Lama Berubah ke Pola MBS
Sentralistik Desentralisasi
Subordinasi Otonomi
Pengambilan keputusan terpusat Pengambilan keputusan partisipatif
Pendekatan birokratik Pendekatan profesional
Pengorganisasian yang hirarkis Pengorganisasian yang setara
Mengarahkan Memfasilitasi
Dikontrol dan diatur Motivasi diri dan saling mempengaruhi
Infromasi ada pada yang berwenang Informasi terbagi
Menghindari risiko Mengelola risiko
Menggunakan dana sesuai Menggunakan dana sesuai kebutuhan
anggaran sampai habis dan seefisien mungkin

MBS yang akan dikembangkan merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai dengan adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi namun masih dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. MBS harus mengakibatkan peningkatan proses belajar mengajar sehingga hasil belajarpun meningkat. Sekolah yang menerapkan prinsip-prinsip MBS adalah sekolah yang harus lebih bertanggungjawab, kreatif dalam bertindak dan mempunyai wewenang lebih serta dapat dituntut pertanggungjawabannya oleh pemangku kepentingan.

Diharapkan dengan menerapkan manajemen pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal berikut:
• Menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut.
• Mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan masukan pendidikan yang akan dikembangkan.
• Mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya.
• Bertanggungjawab terhadap orangtua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah.
• Persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif-inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan.
• Meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, dunia usaha dan dunia industri (DUDI) untuk mendukung kinerja sekolah.
• Menyusun dan melaksanakan program sekolah yang mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (pelaksanaan kurikulum), bukan kepentingan administratif saja.
• Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil, dan fasilitas).
• Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan.
• Menjamin terpeliharanya fasilitas dan sumber daya yang ada di sekolah dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
• Meningkatkan profesionalisme personil sekolah.
• Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang.
• Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat, dll).
• Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah.


DAFTAR PUSTAKA

1. Miftah Thoha. “Desentralisasi Pendidikan”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

2. NCREL, 1995, Decentralization: Why, How, and Toward What Ends? NCREL’s Policy Briefs, report 1, 1993 dalam Nuril Huda “Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

3. Gaynor, Cathy (1998) Decentralization of Education: Teacher management. Washington, DC, World Bank dalam Nuril Huda “Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke-5, Juni 1999.

4. Donoseputro, M (1997) Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Upaya Pencapaian Tujuan Pendidikan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan Alat Pemersatu Bangsa, Suara Guru 4: 3-6.

5. dari Focus on School: The Future Organization of Education Service for Student, Department of Education, Queensland, Australia*)

6. Burns, J.M (1978) Leadership Harper & Row, New York dalam Rumtini (1977) Transformational and Transactional Leadership Performance of Principals of Junior Secondary School in Indonesia, unpublished thesis.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Manajemen Pendidikan, Problematika dan Tantangannya

Pendahuluan

Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM (Sumber Daya
Manusia) masyarakat bangsa tersebut. Kualitas SDM tergantung pada tingkat
pendidikan masing-masing individu pembentuk bangsa. Pendidikan yang visioner,
memiliki misi yang jelas akan menghasilkan keluaran yang berkualitas. Dari sanalah
pentingnya manajemen dalam pendidikan diterapkan.
Manajemen pendidikan untuk saat ini merupakan hal yang harus diprioritaskan
untuk kelangsungan pendidikan sehingga menghasilkan keluaran yang diinginkan.
Kenyataan yang ada, sekarang ini banyak institusi pendidikan yang belum memiliki
manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan
masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan
tertinggal dari modernitas.
Hal ini mengakibatkan sasaran-sasaran ideal pendidikan yang seharusnya bisa
dipenuhi ternyata tidak bisa diwujudkan. Parahnya terkadang para pengelola pendidikan
tidak menyadari akan hal itu, oleh karena itu, tulisan ini akan sedikit mengulas tentang
problematika, tantangan serta isu-isu yang berkaitan dengan manajemen pendidikan.
Definisi Manajemen
Sebagaimana dicatat dalam Encyclopedia Americana manajemen merupakan "
the art of coordinating the ele-ments of factors of production towards the achievement of
the purposes of an organization", yaitu suatu seni untuk mengkoordinir sumberdaya
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Sumberdaya organisasi tersebut meliputi manusia(men), bahan baku(ma-terials) dan mesin(machines).Koordinasi dimaksudkan agar tujuan organisasi bisa dicapai dengan efisien sehingga dapat memenuhi harapan berbagai pihak (stake-holders) yang mempunyai kepentingan terhadap organisasi.
Pendidikan
Pendidikan merupakan setiap proses di mana seseorang memperoleh
pengetahuan (knowledge acquisition), mengembangkan kemampuan/keterampilan
(skills developments) sikap atau mengubah sikap (attitute change). Pendidikan adalah suatu proses transformasi anak didik agar mencapai hal _hal tertentu sebagai akibat
proses pendidikan yang diikutinya.
Sebagai bagian dari masyarakat, pendidikan memiliki fungsi ganda yaitu fungsi
sosial dan fungsi individual. Fungsi sosialnya untuk membantu setiap individu menjadi
anggota masyarakat yang lebih efektif dengan memberikan pengalaman kolektif masa
lalu dan sekarang, sedangkan fungsi individualnya untuk memungkinkan seorang
menempuh hidup yang lebih memuaskan dan lebih produktif dengan menyiapkannya
untuk menghadapi masa depan (pengalaman baru). Fungsi tersebut dapat dilakukan
secara formal seperti yang terjadi di berbagai lembaga pendidikan, maupun informal
melalui berbagai kontak dengan media informasi seperti buku, surat kabar, majalah, TV, radio dan sebagainya.
Manajemen Pendidikan
Dari pengertian diatas, manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk
mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan
prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dsb untuk mencapai tujuan
dan sasaran pendidikan.
Tujuan pendidikan sebagaimana tertuang pada UU Nomor 2 tahun 1989 pasal 4,
antara lain dirumuskan : "Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".
Sasaran pendidikan secara makro sebagaimana yang terdapat dalam lembagalembaga
pendidikan dapat diklasifikasikan pada beberapa hal, antara lain akuisisi
pengetahuan (sasaran kognitif), pengembangan keterampilan/kemampuan (sasaran
motorik) dan pembentukan sikap (sasaran afektif).
Sasaran-sasaran makro ini kemudian diterjemahkan dalam berbagai bentuk
sasaran mikro yang dapat diukur secara rinci dan spesifik berupa apa yang diharapkan
dari hasil belajar mengajar. Salah satu sasaran yang dapat diukur untuk sasaran kognitif
adalah nilai hasil akhir belajar (NEM) dan perankingan sebagai implikasi dari NEM.
Untuk sasaran motorik, terkait dengan apa yang telah dihasilkan oleh siswa, sedangkan
untuk sasaran afektif, terkait dengan perubahan sikap/perilaku siswa setelah proses
belajar mengajar.
Oleh karena itu, pendidikan pun memerlukan adanya manajemen pendidikan yang berupaya mengkoordinasikan semua elemen pendidikan untuk mencapai tujuan
pendidikan. Sebagaimana pada manajemen secara umum, manajemen pendidikan
meliputi empat hal pokok, yaitu perencanaan pendidikan, pengorganisasian pendidikan,
penggiatan pendidikan, dan pengendalian atau pengawasan pendidikan. Secara umum
terdapat sepuluh komponen utama pendidikan, yaitu: peserta didik, tenaga pendidik,
tenaga kependidikan, paket instrusi pendidikan, metode pengajaran (dalam proses
belajar mengajar), kurikulum pendidikan, alat instruksi & alat penolong instruksi, fasilitas
pendidikan, anggaran pendidikan, dan evaluasi pendidikan.
Perencanaan pendidikan dimaksudkan untuk mempersiapkan semua komponen
pendidikan, agar dapat terlaksana proses belajar mengajar yang baik dalam
penyelenggaraan pendidikan. Pengorganisasian pendidikan ditujukan untuk
menghimpun semua potensi komponen pendidikan dalam suatu organisasi yang
sinergis untuk dapat menyelenggarakan pendidikan dengan sebaik-baiknya.
Penggiatan pendidikan merupakan pelaksanaan dari penyelenggaraan
pendidikan yang telah direncanakan dan dilaksanakan oleh organisasi penyelenggara
pendidikan dengan memparhatikan rambu-rambu yang telah ditetapkan dalam
perencanaan. Sedangkan pengendalian pendidikan dimaksudkan untuk menjaga agar
penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan sesuai yang direncanakan dan semua
komponen pendidikan digerakkan secara sinergis dalam proses yang mengarah kepada
pencapaian tujuan pendidikan. Semua hal pokok tersebut ditujukan untuk menghasilkan
keluaran secara optimal seperti yang telah ditetapkan dalam perencanaan pendidikan.
Oleh karena itu, manajemen pendidikan dalam perkembangannya memerlukan
apa yang dikenal dengan Good Management Practice untuk pengelolaannya. Tetapi
pada prakteknya, Good management practice dalam pendidikan masih merupakan
suatu hal yang elusif. Banyak penyelenggara pendidikan yang beranggapan bahwa
manajemen pendidikan bukanlah suatu hal yang penting, karena kesalahan persepsi
yang menganggap bahwa domain manajemen adalah bisnis.
Setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan
keberhasilan Good Management Practice dalam pendidikan, beberapa hal tersebut
teringkas dalam item-item sebagai berikut :

1. Sasaran Pendidikan: Aspek afektif
Salah satu isu utama keberhasilan pendidikan adalah sejauh mana tingkat
afektifitas yang dimiliki oleh anak didik. Apakah anak didik akan menjadi lebih saleh,lebih berbudi pekerti, memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Hal itulah yang seharusnya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh pendidikan.
Fenomena yang ada berupa maraknya tawuran, konsumsi narkoba dan jual beli
ujian di sekolah membuktikan bahwa sasaran afektif masih terabaikan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Baik dalam pendidikan yang berbasis agama maupun
tidak. Perilaku dan sikap anak di berbagai lembaga pendidikan berbasis agama tidaklah
berbeda signifikan dengan mereka yang bersekolah di sekolah non agama. Padahal
aspek afektifitas inilah yang seharusnya menjadi nilai jual lebih lembaga pendidikan
berbasis agama dibandingkan lembaga pendidikan berbasis non agama.
Fenomena tersebut muncul karena sekolah hanya menanamkan nilai-nilai
skolastik secara teoritis saja, tanpa disertai dengan praktek langsung terhadap nilai-nilai tersebut.Dalam hal ini sasaran afektif yang ingin dicapai tidak dijabarkan secara nyata dalam kehidupan para anak didik. Sehingga Banyak institusi pendidikan berbasis agama berhasil menempatkan anak didiknya dalam posisi terhomat dari segi skolastik, namun, di balik sukses ini justru terjadi kegagalan besar dalam membentuk anak sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai kepedulian besar terhadap orang lain, masyarakat sekitar dan isu-isu sosial yang berkembang dalam masyarakat.
2. Manajemen Guru
Guru sebagai salah satu sumber daya terpenting pendidikan, sampai saat ini
masih merupakan sumber daya yang undermanaged atau bahkan mismanaged.
Pimpinan pendidikan pada umumnya masih melihat guru sebagai faktor produksi saja.
Padahal manajemen guru, adalah suatu hal yang bisa dikatakan sangat penting untuk
keberhasilan suatu pendidikan. Manajemen guru harus diatur mulai dari proses seleksi
dan rekrutmen guru, proses pengembangan kemampuan guru sebagai tenaga pengajar
sampai pada proses motivasi guru agar dapat mempunyai komitmen tinggi.
Parahnya guru diperlakukan dapat kita ketahui di berbagai media masa. Mulai
dari gaji yang tidak cukup untuk hidup layak sampai tidak adanya jaminan kesehatan
apalagi jaminan hari tua. Tidak sedikit guru yang kemudian bekerja sambilan sebagai
tukang ojek. Tidaklah juga mengherankan kalau ada di antara mereka yang melakukan
tindakan tidak terpuji seperti menjual soal ujian dan sebagainya. Pihak penyelenggara
pendidikan lebih mementingkan surplus sekolah ketimbang meningkatkan kesejahteraan
guru. Padahal pendidikan dan keberhasilan pendidikan mencapai sasaran amat ditentukan
oleh guru.

3. Peningkatan Pengawasan
Dalam manajemen pendidikan, fungsi pengawasan sepertinya menempati posisi
terlemah. Hal ini bisa kita lihat pada misalnya hampir tidak adanya upaya untuk
menganalisis mengapa NEM terus merosot dari tahun ke tahun atau mengapa jumlah
siswa merosot padahal biaya pendidikan sudah relatif murah. Selama ini, kegiatan
pengawasan hanya difokuskan kepada presensi guru dan murid. Walaupun hal itu
penting, namun lebih banyak aspek pendidikan yang berkaitan dengan pencapaian
sasaran yang masih luput dari pengawasan.

4. Manajer Pendidikan
Keberhasilan manajemen pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran serta
manajer/pengelola pendidikan. Selama ini yang kita lihat adalah peranan ganda yang
dijalankan oleh komponen pendidikan. Guru merangkap sebagai karyawan, dan bahkan
guru menempati posisi sebagai kepala institusi pendidikan itu sendiri. Efisiensi biaya
sering dijadikan alasan penerapan sistem tersebut. Padahal urusan manajemen sangat
berbeda dengan urusan belajar-mengajar. Seharusnya manajer pendidikan dipegang
oleh orang yang benar-benar ahli dalam manajemen dan tidak berperan sebagai guru
pengajar. Hal ini selain karena faktor professionalisme juga agar masing-masing
komponen lebih fokus pada bidang yang mereka garap.
Fenomena yang terjadi selama ini adalah promosi seorang guru yang baik
menjadi manajer pendidikan tanpa melewati persiapan memadai seperti
penyelenggaraan pelatihan dan penyiapan manajer sekolah. Tidaklah heran, banyak
guru baik yang lalu menjadi manajer pendidikan yang gagal, karena ia menempati
tingkatan inkompetensinya dalam bidang manajerial. Hal ini dibiarkan berlarut-larut,
tanpa adanya tindakan dari institusi pendidikan untuk secara serius mencari dan
memposisikan seorang manajer sebagai manajer pendidikan di institusi tersebut.
Kerberhasilan penyelenggaraan pendidikan ditentukan oleh tersedianya manajer
pendidikan yang handal. Isu ini menjadi lebih relevan mengingat persaingan dalam
setiap jenjang dunia pendidikan kita makin intens. Tanpa manajemen dan manajer
handal, akan banyak lembaga pendidikan yang gulung tikar karena tidak berhasil
memuaskan para stakeholders.

5. Partisipasi Manajer Bisnis
Dalam membenahi manajemen pendidikan, tidak ada salahnya bagi
penyelenggara pendidikan untuk memanfaatkan keterampilan menajerial para manajer
bisnis. Fakta di manca negara membuktikan keefektifan pendekatan ini. Karena fungsi
manajemen bersifat universal dan keterampilan manajemen dapat ditransfer dari satu
bidang ke bidang lain, maka jalan pintas yang dapat diambil yaitu, sambil menyiapkan
manajer pendidikan, memanfaatkan tenaga manajer bisnis yang tersedia untuk
mengelola pendidikan.
Kita dapat mengambil pelajaran dari pengalaman berbagai sekolah bisnis di
Amerika Serikat yang merekrut para manajer bisnis yang ternyata berhasil
meningkatkan kinerja sekolah bisnis tersebut. Hal ini selayaknya diuji cobakan pada
institusi-institusi pendidikan di tanah air, untuk mencapai kemajuan manajemen
pendidikan.

6. Aliansi Antarsekolah
Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk memajukan institusi pendidikan adalah
melakukan aliansi antar institusi pendidikan. Melalui koordinasi asosiasi lembaga
pendidikan (seperti MDPK/MPPK), suatu lembaga pendidikan dapat belajar dari good
management practice lembaga pendidikan lain. Begitu juga melalui proses
benchmarking, suatu lembaga dapat belajar dari pengalaman lembaga lain.

7. Kebijakan Pemerintah
Selain faktor-faktor internal lembaga pendidikan, faktor eksternal berupa
keterlibatan pemerintah dalam pendidikan juga sedikit banyak mempengaruhi
manajemen pendidikan di negara tersebut. Misalnya pada manajemen pendidikan
sentralistis. Penerapan manajemen pendidikan sentralistis sebagai kebijakan
pemerintah ternyata menjadikan proses demokratisasi dan desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan terutama di daerah, menjadi kurang terdorong dan nilainilai
lokal tempat institusi pendidikan kurang terakomodasi dalam pelaksanaan
pendidikan.
Isu-isu diatas menjadi PR bagi institusi pendidikan untuk menjadikan pendidikan
yang memiliki mutu dan kualitas tinggi. Hal ini memerlukan keterlibatan semua pihak
untuk mewujudkannya. Semua stakeholders pendidikan mencakup orang tua,
masyarakat, pemerintah daerah dan pemerintah nasional harus turut serta dalam penyelenggaraan aspek-aspek manajemen.
Selain itu perubahan sikap dan tingkah laku semua stakeholder yang semestinya
sesuai dengan tuntutan manajemen modern, juga merupakan salah satu tantangan yag
harus dihadapi. Karena hal ini memerlukan upaya penyadaran dan sosialisasi terhadap
semua stakeholder untuk menerima hal yang baru. Dan yang tak kalah pentingnya
adalah bagaimana memasukkan nilai-nilai lokal kedalam manajemen pendidikan
sehingga nantinya pendidikan akan menghasilkan keluaran yang berkomitmen untuk
membangun daerahnya bukan keluaran yang malah pergi meninggalkan daerahnya
hanya untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya pribadi.

Penutup
Pada dasarnya manajemen pendidikan sangat diperlukan oleh semua pihak
yang terkait dengan pendidikan. Tetapi dalam penerapannya ternyata tidak sesederhana
yang dibayangkan. Ada banyak tantangan dan problematika yang harus ditangani demi
terlaksananya manajemen pendidikan. Tantangan tersebut tidak akan bisa diatasi jika
hanya ditangani oleh individu sebagai elemen pendidikan, tetapi semua pihak harus
bekerja sama bahu membahu untuk menghadapi sekaligus menyelesaikan problematika
tersebut agar cita-cita pendidikan bisa direalisasikan sebagaimana yang telah
direncanakan sebelumnya.

Referensi

1. http://www.bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/200006/artikel3.htm.
2. http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0405/14/1102.htm
3. Fatah, Nanang. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung. PT. Remaja
Rosdakarya.